Wednesday, June 27, 2007

Surga dan Agama

Surga dan Agama

Beberapa hari setelah tertembaknya Dr. Azahari di Batu, Jawa Timur, Habib Rizieq menyatakan (dalam hal ini membenarkan ungkapan) bahwa pelaku terorisme di Indonesia itu akan masuk surga. Ia menyampaikan rasa simpati dan menilainya sebagai orang yang mati syahid. Pernyataan ini seolah memperkuat pendapat seorang teroris yang direkam dalam kepingan CD, mati dalam pemboman di Bali akan masuk surga. Ini tentu karena si teroris yakin akan hal itu. Dengan demikian jelas bahwa motif tindakannya dianggap melaksanakan ajaran agama Islam. Ungkapan ini sudah tentu dalam membenarkan dan menyetujui tindak kekerasan atas nama Islam. Benarkah demikian?

Pertama-tama, harus disadari bahwa tindak teroristik adalah akibat dari tidak efektifnya cara-cara lain untuk ‘menghadang’, apa yang dianggap sang teroris sebagai, hal yang melemahkan Islam. Bentuk tindakan itu dapat saja berbeda-beda namun intinya sama, yaitu anggapan bahwa tanpa kekerasan agama Islam akan ‘dikalahkan’ oleh hal-hal lain, termasuk modernisasi ‘model Barat’. Tak disadari para teroris, bahwa respon mereka bukan sesuatu yang murni dari agama Islam itu sendiri. Bukankah dalam tindakannya para teroris juga menggunakan penemuan-penemuan dari Barat? Ini terbukti dari berbagai alat yang digunakan, seperti perkakas komunikasi dan alat peledak. Bukankah ini menunjukkan hipokritas yang luar biasa dalam memandang kehidupan?

Demikian kuat keyakinan itu tertanam dalam hati para teroris, sehingga sebagian mereka bersedia mengorbankan jiwa sendiri dengan melakukan bom bunuh diri. Selain itu juga karena adanya orang-orang yang mendukung gerakan teroris itu. Patutlah dari sini kita memeriksa kebenaran pendapat itu. Tanpa pendekatan itu, tinjauan kita akan dianggap sebagai ‘buatan musuh’. Kita harus melihat perkembangan sejarah Islam yang terkait dengan hal ini sebagai perbandingan.

Dalam sejarah Islam yang panjang, ada tiga kaum dengan pendapat penting yang berkembang. Kaum Khawarij menganggap penolakan terhadap setiap penyimpangan sebagai kewajiban agama. Dari mereka inilah lahir para teroris yang melakukan pembunuhan demi pembunuhan atas orang-orang yang mereka anggap meninggalkan agama. Lalu ada kaum Mu’tazilah, yang menganggap bahwa kemerdekaan manusia untuk mengambil pendapat sendiri tanpa batas dalam ajaran Islam. Mereka menilai adanya pembatasan apapun akan mengurangi kebebasan manusia. Di antara dua pendapat yang saling berbeda itu, ada kaum Sunni yang berpandangan bahwa kaum muslimin memiliki kebebasan dengan batas-batas yang jelas, yaitu tidak dipekenankan melakukan tindakan yang diharamkan oleh ajaran agama Islam, salah satunya bunuh diri.

Mayoritas kaum muslim di seluruh dunia mengikuti garis Sunni ini dan menggunakan paham itu sebagai batasan perlawanan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Karenanya, penulis yakin bahwa orang yang membenarkan terorisme itu berjumlah sangat kecil. Itulah sebabnya, dalam sebuah keterangan pers penulis menyatakan bahwa Islam garis keras seperti Front Pembela Islam (FPI) yang dipimpin Habib Rizieq, adalah kelompok kecil dengan pengaruh sangat terbatas. Ini adalah kenyataan sejarah yang tidak dapat diabaikan sama sekali. Akibat dari anggapan sebaliknya, sudah dapat dilihat dari sikap resmi aparat penegak hukum kita yang terkesan tidak mau mengambil tindakan-tindakan tegas terhadap mereka itu.

Kita perlu mendudukkan persoalannya pada rel yang wajar. Pertama, pandangan para teroris itu bukanlah pandangan umat Islam yang sebenarnya. Ia hanyalah pandangan sejumlah orang yang salah bersikap melihat sejumlah tantangan yang dihadapi ajaran agama Islam. Kedua, pandangan itu sendiri bukanlah pendapat mayoritas. Selain itu, terjadi kesalahan pandangan bahwa hubungan antara agama dan kekuasaan akan menguntungkan pihak agama. Padahal sudah jelas, dari proses itu sebuah agama akan menjadi alat pengukuh dan pemelihara kekuasaan. Jika sudah demikian agama akan kehilangan peran yang lebih besar, yaitu inspirasi bagi pengembangan kemanusiaan. Selain itu juga akan mengurangi efektivitas peranan agama sebagai pembawa kesejahteraan.

Agama Islam dalam al-Qur’an al-Karim memerintahkan kaum muslimin untuk menegakkan keadilan, sesuai dengan firman Allah “Wahai orang-orang yang beriman, tegakkan keadilan” (Ya ayyuha al-ladzina amanu kunu qawwamina bi al-qisthi). Jadi yang diperintahkan bukanlah berbuat keras, tetapi senantiasa bersikap adil dalam segala hal. Begitu juga dalam kitab suci banyak ayat yang secara eksplisit memerintahkan kaum muslimin agar senantiasa bersabar. Tidak lupa pula, selalu ada perintah untuk memaafkan lawan-lawan kita. Jadi sikap ‘lunak’ dan moderat bukanlah sesuatu yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. Bahkan sebaliknya sikap terlalu keras itulah yang ‘keluar’ dari batasan-batasan ajaran agama.

Berbeda dari klaim para teroris, Islam justru mengakui adanya perbedaan-perbedaan dalam hidup kita. Al-Qur’an menyatakan “Sesungguhnya Ku-ciptakan kalian sebagai lelaki dan perempuan dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa untuk saling mengenal” (Inna khalaqnakum min dzakarin wa untsa wa ja’alnakum syu’uban wa qabaila li ta’arafu). Dari perbedaan itu, Allah Swt memerintahkan “berpeganglah kalian pada tali Allah dan janganlah terpecah belah” (wa i’tashimu bi habl Allah jami’an wa la tafarraqu). Berbagai perkumpulan hanyalah menandai adanya kemajemukan/pluralitas di kalangan kaum muslimin, sedangkan aksi para teroris itu adalah sumber perpecahan umat manusia.

Kebetulan, negara kita berpegang kepada ungkapan Empu Tantular ‘Bhinneka Tunggal Ika’ (berbeda-beda namun tetap satu juga). Kaum muslimin di negeri ini telah sepakat untuk menerima adanya negara yang bukan negara Islam. Ia dicapai dengan susah payah melalui cara-cara damai. Jadi patutlah hal ini dipertahankan oleh kaum muslimin. Karena itu, kita menolak terorisme dalam segala bentuk. Jika mereka yang menyimpang belum tentu masuk surga, apalagi mereka yang memberikan ‘rekomendasi’ untuk itu.

Wednesday, June 13, 2007

Pariwisata

Melirik Potensi Geowisata di Gunung Kidul

WONOSARI – Tiap musim kemarau tiba, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) jadi langganan berita. Pelbagai media selalu menyoroti persoalan kekeringan yang melanda daerah tandus ini. Di balik cerita sedih itu, daerah seluas 148,506 ha–sekitar 46,62 persen dari luas seluruh DIY, ternyata menyimpan potensi pariwisata. Salah satunya, potensi geowisata di kawasan karst. Sayang, potensi ini belum digarap maksimal.

Bila Anda sempat jalan-jalan ke Gunung Kidul, pasti kesan yang pertama ditangkap adalah kering dan meranggas. Dengan matahari yang terasa dekat di kepala, tanah yang ada terlihat pecah-pecah. Lebih-lebih begitu melihat tumbuhan yang hidup—didominasi oleh pohon jati –-tak menampakkan lembaran daun di ujung batangnya.
”Ini memang ciri khas kawasan karst. Daerahnya kering dengan dominasi bukit-bukit kapur. Memang terasa panas waktu musim kering,” kata Hendy S. – geolog yang bekerja untuk Balai Konservasi Candi Borobudur. Obrolan pengisi waktu dalam perjalanan menuju Gua Lawa, Kecamatan Ponjong, Gunung Kidul tiba-tiba berkembang menjadi ide cerita yang menarik.
Ia lalu menunjuk pohon-pohon jati yang kelihatan tinggal batang kering itu. ”Pohon-pohon itu bukannya mati, tetapi itu usaha mereka untuk mengurangi penguapan air. Pohon jati salah satu pohon yang cocok hidup di kawasan seperti ini.”
Walau daerah ini terasa kering, Hendy percaya betul dengan potensi yang dimilikinya. Kawasan karst di Gunung Kidul bisa dikembangkan menjadi objek wisata. Tinggal sekarang, apakah para pihak (stakeholder) siap untuk memajukan semua itu. ”Peluangnya cukup bagus kok,” tegas pria ramah ini.

Belum Maksimal
Sunarto, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Gunung Kidul mengatakan bahwa kawasan karst yang membentang di wilayah Gunung Kidul merupakan potensi wisata yang belum tergarap maksimal. Sumber daya karst yang termasuk Pegunungan Sewu itu punya nilai estetika dan sifat multiaspek, semua cabang pengetahuan dapat diaplikasikan di sini.
Kalau dilihat lebih jauh, pemanfaatan gua sebagai aset geowisata adalah salah satu celah untuk mengembangkan potensi wisata Gunung Kidul. Lebih jauh, Sunarto menyebutkan bahwa daerah yang terkenal dengan gaplek itu masih menyimpan banyak objek dan daya tarik pariwisata. Jualannya bisa dari keindahan pantai, kawasan perbukitan, hutan dan pegunungan karst.
Dari sisi wisata budaya, Gunung Kidul juga bisa dikedepankan. Sebut saja gua-gua bersejarah yang menyimpan segudang peninggalan masa lampau sampai aneka kesenian tradisional khas lokal. ”Daerah ini juga punya aset kerajinan yang juga merupakan aset bagi pengembangan pariwisata,” tandas Sunarto dalam sarasehan ”Pengembangan Peranserta Masyarakat dalam Pelestarian dan Pemanfaatan Gua-gua Bersejarah di Gunung Kidul”, beberapa waktu lalu di Gunung Kidul.
Sunarto pun berharap Gunung Kidul mampu melakukan diversifikasi produk-produk wisata tersebut. Ini sudah lumrah, katanya, saat ini persaingan makin ketat di antara daerah-daerah tujuan wisata. Belum lagi harus bersaing secara regional, misalnya dengan negara-negara ASEAN.
Geowisata bisa dijadikan contoh diversifikasi produk wisata. Apalagi melihat potensi alam Gunung Kidul yang amat mendukung. Dari situ pula bisa dikembangkan wisata minat khusus dan wisata petualangan yang berorientasi pada keindahan alam.
Kata Sunarto, geowisata punya aspek positif dalam pemanfaatan dan pengelolaan kawasan karst Pegunungan Sewu. Salah satunya sebagai usaha perlindungan kawasan karst dari penurunan nilai-nilai ilmiah akibat pertambangan yang berlebihan. Di sisi lain, usaha menjual gua tadi mampu menambah pundi-pundi kas daerah dan masyarakat.

Gua Bersejarah
Tak beda dengan Sunarto, Hanang Samodra – peneliti dan pemerhati Lingkungan Karst dan Gua dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Bandung – setuju dengan pemanfaatan karst Gunung Kidul sebagai objek wisata. Terlebih lagi gua-gua yang ada di perut daerah ini mengandung nilai budaya yang tinggi.
Sekadar mengingatkan, di kawasan karst Pegunungan Seribu terdapat sejumlah gua yang masuk kategori gua bersejarah. Gua alami ini terbukti pernah menjadi pusat kegiatan di masa lalu. Peninggalan masa lalu tadi yang selalu dicari para peneliti. Sebab dari sini bisa disibak keberadaan manusia prasejarah yang pernah tinggal di suatu wilayah, perkembangan budayanya dan proses interaksinya dengan lingkungan alam di sekitarnya. Dengan batasan tersebut, gua-gua tadi juga dikelompokkan sebagai gua arkeologi. ”Gua di kawasan karst Gunung Sewu yang termasuk gua arkeologi adalah Gua Braholo, Song Gupuh, Song Keplek dan Gua Tabuhan,” sebut Hanang.
Sebagai suatu objek wisata yang bersifat ilmiah populer, lanjut Hanang, tentu saja gua arkeologi itu tetap punya nilai jual. Pasarnya bisa dibagi jadi dua, wisatawan umum dan wisatawan minat khusus. ”Ini tergantung dengan materi yang ingin disampaikan,” ujar Ketua Komisi Kars Ikatan Ahli Geologi Indonesia.
Penyampai materi adalah pemandu wisata. Sang pemandu bisa berlatar belakang ilmiah ataupun masyarakat lokal yang sudah mengikuti pelatihan secara khusus. Hanya saja yang perlu diingat, informasi teknis ilmiah harus bisa diterjemahkan dan disampaikan lewat bahasa yang sederhana – tanpa harus mengurangi makna yang sebenarnya. Kalau terlalu njlimet takutnya para wisatawan malah tak tertarik lantaran mereka tak punya bekal pengetahuan arkeologi.
Tantangan Pemanfataan
Walau dipandang punya potensi, Hanang mengingatkan bahwa ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi. Malahan tantangan sudah akan muncul sejak tahap perencanaan. Pengembangan gua menjadi suatu objek wisata yang punya pesona dan daya tarik tinggi bukanlah pekerjaan yang sederhana. ”Tanpa ada strategi yang matang hanya akan memperburuk dan menurunkan kualitas nilai strategis gua.”
Supaya lebih gampang gambaran berikut patut direnungkan. ”Gua memiliki iklim-mikro yang khas, yang sangat berbeda dengan lingkungan di luarnya. Setiap segmen gua punya derajat keterangan, suhu dan kelembaban sendiri-sendiri,” jelas Hanang, pria kelahiran Yogyakarta, 2 Juli 1956. Iklim mikro gua tak hanya penting bagi kehidupan biota di dalamnya, tetapi juga mengawetkan lukisan yang tergambar dan tercorat-coret di dinding gua.
Memasuki gua yang penuh lukisan tanpa pemandu dikhawatirkan akan mengganggu proses identifikasi ilmiah yang mungkin belum selesai dilakukan. Benda-benda arkeologi lainnya seperti artefak, sisa makanan berupa serpihan tulang atau tumpukan cangkang kerang, gerabah, manik-manik dan kerangka boleh jadi masih terlindungi dengan baik dari pengaruh kunjungan. Sebab benda-benda tadi berada di dalam lapisan sedimen di dasar gua. Meski begitu, sebelum nilai ilmiahnya teridentifikasi secara lengkap, kunjungan ke gua arkeologi tadi tetap akan berpengaruh pada kegiatan tersebut.
Gangguan bukan cuma dari manusia, alam pun sering merusak sendiri – dalam usahanya menuju ke kesetimbangan dinamis. Pelepasan akumulasi energi pada lapisan kulit bumi secara tiba-tiba dalam bentuk gempa bumi adalah salah satu contoh proses alam menuju ke arah kesetimbangan baru. Gempa yang kuat tentu saja akan merusakkan dinding gua.
”Dari kenyataan tadi, di dalam kegiatan pengembangan gua wisata sering muncul pemahaman yang bersifat skeptis, yang kemudian berkembang menjadi suatu kontroversi. Dibiarkan saja atau dikelola, gua tetap akan rusak,” sergah Hanang. Permasalahan ini akan tetap jadi persoalaan selamanya, yaitu ketika orang tak mau berusaha mencari kata kunci yang dapat mengeluarkannya dari belenggu permasalahan tersebut.


Friday, June 8, 2007

Humor

Santri Menjinakkan Sopir

Pesantren X berada di jalan raya antar propinsi। Karena tempat itu di luar kota maka jarang bis antar kota yang mau berhenti di tempat itu, padahal untuk mengirit waktu dan biaya santri harus turun di tempat itu biar tidak nyembung dengan ojek atau angkot.


Kadang sopir mau menurunkan mereka tetapi bis tetap jalan dengan kecepatan tinggi sehingga para santri horus meloncat, tidak sedikit yang terjatuh, apalagi rata-rata santri bepergian dengan menggunakan kain sarung ukan celana panjang।


Suatu hari ada anak yang sedang disunat naik bis antar kota dan minta diberhentikan di pesantren tersebut। Ternyata sopir dan kondektur melayani dengan sopan.


Sejak itu para santri bila minta turun di daerah itu selalu bilang ”Tolong Pak Sopir ada anak disunat yang mau turun!” Tanpa periksa sopir segera berhenti, apalagi para santri semuanya pakai sarung।


Lama kelamaan sopir dan kondektor keheranan, ”Aneh di pesantren ini masak tiap hari banyak sekali orang disunat, bahkan sudah dewasa pun mengaku baru disunat?”


”Makanya Pak sopir harap menurunkan penumpang di sini dengan semestinya, biar tidak selalu ditipu oleh orang yang mengaku disunat!” (Bregas)